Sekapur Sirih

Kehidupan bukanlah suatu perubahan yang silih berganti, namun kesempatanlah yang harus kita isi"


Kamis, 06 Maret 2008

sejarah pesantren

Pesantren adalah bentuk pendidikan tradisional di Indonesia yang sejarahnya telah mengakar secara berabad-abad, Nurcholis Madjid dalam buku beliau yang berjudul Bilik-Bilik Pesantren (Paramadina-Jakarta, 1997) menyebutkan, bahwa pesantren mengandung makna keislaman sekaligus keaslian (indigenous) Indonesia. Kata “pesantren” mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren, sedangkan kata “santri” diduga berasal dari istilah sansekerta “sastri” yang berarti “melek huruf”, atau dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti orang yang mengikuti gurunya kemanapun pergi. Dari sini kita memahami bahwa pesantren setidaknya memiliki tiga unsur, yakni; Santri, Kyai dan Asrama.

Dalam sejarahnya, misalnya Pesantren Giri di Gresik bersama institusi sejenis di Samudra Pasai telah menjadi pusat penyebaran keislaman dan peradaban ke berbagai wilayah Nusantara. Pesantren Ampel Denta menjadi tempat para wali –yangmana kemudian dikenal dengan sebutan wali songo atau sembilan wali-menempa diri. Dari pesantren Giri, santri asal Minang, Datuk ri Bandang, membawa peradaban Islam ke Makassar dan Indonesia bagian Timur lainnya. Makassar lalu melahirkan Syekh Yusuf, ulama besar dan tokoh pergerakan bangsa. Mulai dari Makassar, Banten, Srilanka hingga Afrika Selatan.

Di awal Abad 19, Kiai Besari dari Pesantren Tegalrejo-Ponorogo mengambil peran besar. Pesantren ini menempa banyak tokoh besar seperti Pujangga Ronggowarsito. Pada akhir abad itu, posisi serupa diperankan oleh Kiai Kholil, Bangkalan-Madura. Dialah yang mendorong dan merestui KH Hasyim Asy'ari atau Hadratus Syeikh , santrinya dari pesantren Tebu Ireng - Jombang, untuk membentuk Nahdlatul Ulama (NU). NU pun menjadi organisasi massa Islam terbesar dan paling berakar di Indonesia.

Di jalur yang sedikit berbeda, rekan seperguruan Hadratus Syeikh di Makkah, KH Ahmad Dahlan pun mengambil peran yang kemudian mempengaruhi kelahiran "pesantren moderen" seperti Pondok Gontor - Ponorogo. Alur 'moderen' ini juga ditempuh A. Hasan dari Persis-Bangil, juga Persatuan Umat Islam di Jawa Barat, serta kalangan surau di Minang yang melahirkan Buya Hamka.


Setelah Indonesia merdeka, pesantren banyak menyumbangkan tokoh-tokoh penting dalam pemerintahan Indonesia, sebut saja Mukti Ali yang dahulu pernah menjabat sebagai Menteri Agama, M Natsir dan yang lebih terpenting lagi, dengan terpilihnya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presidan Indonesia yang keempat, adalah juga mewakili tokoh yang muncul dari kalangan pesantren.

Ketahanan yang ditampilkan pesantren dalam menghadapi laju perkembangan zaman, menunjukkan sebagai suatu lembaga pendidikan, pesantren mampu berdialog dengan zamannya, yang pada gilirannya hal tersebut mampu menumbuhkan harapan bagi masyarakat pada umumnya, bahwa pesantren dapat dijadikan sebagai lembaga pendidikan alternatif pada saat ini dan masa depan.

Dalam kaitannya dengan issue terorisme di kalangan pesantren, persoalan yang kemudian mengemuka adalah, Pertama, mampukah dunia pesantren dapat membumikan harapan-harapan tersebut dengan serangkaian upaya dan langkah, kemudian juga, seperti yang dikatakan oleh Lily Zakiyah Munir, direktur Center for Pesantren and Democracy Studies (Cepdes), Kamis (1/12/05) lalu, dalam wawancaranya tentang Pesantren dan Terorisme, beliau menyinggung, Kedua, seberapa murnikah pendidikan pesantren tersebut mampu mempertahannya nilai-nilai (values system) yang diterapkan di pesantren itu sendiri, yaitu termasuk didalamnya antara lain; pertama, prinsip tawâsuth yang berarti tidak memihak atau moderasi. Kedua, tawâzun, atau menjaga keseimbangan dan harmoni. Ketiga, tasâmuh, atau toleransi. Keempat adl atau sikap adil; dan kelima tasyâwur atau prinsip musyawarah, dan pancasila pesantren inilah nantinya menjadi bekal bagi para santrin dalam proses bersosialisasi dimasyarakat. Ketiga, benarkah pesantren sebagai tempat perkecambahan (breeding ground) radikalisme Indonesia.

Pendidikan di Pesantren

Sebagai lembaga pendidikan berbasis agama (educational institution-based religion), pesantren semakin melebarkan wilayah garapannya yang tidak hanya mengakselerasikan mobilitas vertical (dengan penjelajahan materi-materi agama), tetapi juga mobilitas horizontal (kesadaran social). Pesantren kini tidak lagi berkutat pada kurikulum yang berbasis keagamaan (religion-based curriculum) dan cenderung melangit, tetapi juga kurikulum yang menyentuh persoalan actual masyarakat (society-based curriculum). Dengan demikian pesantren tidak bisa lagi didakwa semata-mata sebagai lembaga keagamaan murni, tetapi juga menjadi lembaga social yang hidup. Pergeseran orientasi semacam ini tidak berarti meraibkan identitas pesantren dengan segala keunikannya, melainkan justru semakin mempertegas bahwa pesantren sejak berdirinya adalah lembaga milik masyarakat yang dikembangkan atas swadaya masyarakat itu sendiri. Demikianlah dalam perkembangannya, pesantren semakin menyadari perlunya reintegrasi kehidupan dalam pesantren dengan realitas di luarnya yang dalam masa-masa sebelumnya dua ranah ini demikian berjarak, untuk tidak mengatakan berseberangan. Di pihak yang lain, belantika perkembangan pesantren belakang ini ditandai dengan munculnya generasi baru pesantren. Generasi baru pesantren ini di samping tetap mewarisi tradisi keilmuan pesantren sebelumnya, juga berhasil meng-create tradisi yang sama sekali baru sekaligus berhasil mensinergikannya dengan perkembangan keilmuan mutakhir. Dengan demikian, lahirnya generasi baru tidak terlepas dengan jaringan intelektual era sebelumnya, di samping juga berhasil membentuk jaringan intelektual yang sama sekali baru. Generasi baru ini wujudnya berhasil membentuk genre baru dengan rantai intelektual yang baru pula yang kemudian dapat dibedakan dengan genre generasi sebelumnya. Genre generasi baru inilah yang disebut genre pesantren di era keemasan. Genre pesantren di era keemasan ini ditandai dengan munculnya tradisi baru di dunia pesantren; sebuah tradisi yang tidak dijumpai dalam era-era sebelumnya. Jika pada awal pendirian pesantren, genre intelektualnya lebih menekankan pada transmisi mistisisme dalam arti luas dan kemudian bergeser pada pemekaran kurikulum yang tidak melulu pada transmisi mistisisme dan pendalaman, tetapi pada varian kurikulum yang beragam; akan tetapi di era keemasannya pesantren semakin memperluas ruang implementasinya dengan melengkapi dan menciptakan alternative-alternatif baru yang dapat menopang establisasi pesantren di tengah ancaman modernitas. Di era ini pesantren berhasil menjadi lembaga pendidikan Islam yang mondial dan cosmopolitan. Di samping itu, munculnya diversivikasi literature pesantren semakin memperluas wawasan santri. Ini menandai era baru pesantren yang mulai terbuka dengan literature-literatur yang sama sekali baru dikenal pesantren. Hal ini terjadi karena beberapa factor. Pertama, kolonialisme dan system pendidikan modern. Propaganda pendidikan modern yang diusung Belanda tentu saja berdampak pada system pendidikan pesantren. Sebagaimana diketahui, pada dasawarsa terakhir abad ke 19, Belanda mulai memperkenalkan system pendidikan modern. Meskipun pada saat itu, lembaga pendidikan tersebut hanya dibatasi pada kalangan kelas tertentu, namun dalam perkembangannya berdirilah lembaga pendidikan colonial yang diperuntukkan pada seluruh rakyat, termasuk umat Islam di Indonesia. Tentu saja dengan hadirnya lembaga pendidikan itu, posisi pesantren agak terancam. Meskipun begitu, kecurigaan pesantren terhadap ancaman lembaga pendidikan colonial tidak selalu berwujud penolakan secara a priori. Karena, di balik penolakannya, ternyata diam-diam pesantren melirik metode yang digunakannya untuk kemudian mencontohnya. Fenomena menolak sambil mencontoh tampak dalam perkembangan pesantren di Jawa. Ini terlihat, misalnya, dengan diajarkannya pengetahuan umum semisal bahasa Melayu dan Belanda, Sejarah, Ilmu Hitung, Ilmu Bumi, dan sebagainya. Pada tahun 1934, Wahid hasyim atas persetujuan ayahnya, KH. Hasyim Asy’ari mendirikan madrasah Nidhamiyah dimana pengajaran pengetahuan umum mencapai 70 % dari keseluruhan kurikulum yang diajarkan. Ini merupakan salah satu respon pesantren dalam mensiasati tuntutan zaman yang tujuannya bukan mengurangi keunikan pesantren itu sendiri, melainkan justru melengkapi dan memperluas cakupan keilmuannya. Kedua, orientasi keilmuan pendidikan pesantren, jika sebelumnya terpusat ke Hijaz maka belakangan telah merambah ke wilayah Timur Tengah lainnya, semisal Mesir, Baghdad, dan bahkan ke Eropa. Peralihan orientasi pendidikan orang pesantren ini mengindikasikan bahwa Hijaz tidak lagi menjadi cita-cita ideal dan pusat kosmik pendidikan pesantren. Ketiga, gerakan pembaruan Islam. Munculnya gerakan pembaruan Islam di tanah air –sebagai pengaruh pembaruan Islam di belahan dunia lainnya- mulai tampak pada awal abadke-20 ini lagi-lagi menjadikan pesantren sebagai sasaran kritik. Sebagai dampak dari situasi ini, pesantren meresponnya secara beragam, mulai dari penolakan dan konfrontasi hingga kekaguman dan peniruan naïf terhadap pola pendidikan Barat. Oleh karena itu, tidak sedikit pesantren yang tetap pada pola lamanya dengan menolak segala hal yang berbau Barat. Bertahannya pesantren-pesantren dengan system salafi, misalnya, dapat dijadikan contoh fenomena ini. Sebaliknya, di pihak lain, munculnya sejumlah pesantren dengan label dan symbol-simbol yang tampak modern menjadi contoh lain kuatnya pengaruh pendidikan Barat, yang diusung para pembaru bagi dunia pesantren.

Salah Satu Kegiatan di Pesantren

Salah Satu Kegiatan di Pesantren